Sabtu, 12 November 2016

Menulis November #8

"Patah hati bukan vonis mati", begitu kata Elang ketika Seren bertanya apa maksudnya belajar menerima hidup dari anak-anak yang ada di RS Kanker Anak. 

Seperti itulah, ketika kamu patah hati jangan pernah beranggapan bahwa itu adalah akhir dari segalanya, banyak orang di luar sana yang mungkin mengimpikan hidup normal seperti kamu meskipun ia telah divonis mati oleh dokter. Jadi usahlah terlalu merutuki hidup yang sebenarnya normal dan baik-baik saja menjadi melankolis hanya karena patah hati. 

Cinta, meski kadang membingungkan tapi jika kita memahaminya secara sederhana, maka tak akan menyakitkan. Belajar dari teori Hukum Kekekalan Energi 'cinta' versi Kean bisa menjadi hal yang baik. Bahwasanya cinta itu seperti energi, tidak dapat diciptakan dan juga tidak dapat dimusnahkan, namun bisa dikonversi.

Menurut Kean, pada dasarnya cinta itu sudah ada dalam hati manusia, hanya saja bagaimana kita mengonversinya menjadi peduli, sayang, benci, semangat dan lain-lain yang akan membedakannya. Jadi, maknailah cinta secara sederhana karena jika berlebihan, bukan tak mungkin suatu hari nanti akan terkonversi menjadi kebencian.

Tulisan ini untuk kamu yang sedang patah hati. Berjalanlah terus, hidup ini sangatlah indah untuk dijalani. Kamu bisa mengonversi patah hatimu menjadi energi-energi positif dan bermanfaat untuk orang lain. 

Kamis, 10 November 2016

Menulis November #7

Dan sampailah pada tulisan ketujuh ini, dimana saya diterpa kebingungan mau menulis apa lagi. Beberapa orang di luar sana bisa menjadikan kebingungannya sendiri sebuah tulisan, sedangkan saya belumlah bisa. Meskipun ini juga yang memaksa saya untuk menulis lagi. Tanpa menulis, otak saya serasa mati. Banyak kicauan-kicauan di dalamnya yang harus kukeluarkan tanpa suara. 

Baiklah, kali ini saya akan mengulas sedikit salah satu bagian dari buku "Prahara Cinta", judul babnya adalah "Berjumpa dengan Takdir?", sebelumnya perlu saya perkenalkan dulu, tokoh utama pria dalam buku ini bernama Hamidi, seorang laki-laki yang tumbuh dari lingkungan yang tidak peduli dengan agamanya sendiri, hingga kemudian mendapatkan hidayah untuk mempelajari agama Islam setelah dipenjara selama tiga bulan. Adapun tokoh wanita bernama Namirah, teman SMP Hamidi yang mempunyai tempat istimewa di hati Hamidi.

Singkatnya, setelah sekian tahun tak bertemu akhirnya Hamidi dipertemukan lagi dengan Namirah, sampai beberapa kali dalam keadaan tak terencana, bahkan tak pernah dipikirkannya. Ia merasa bahwa ini adalah takdirnya dan kemudian ia berniat untuk meminangnya. Karena baginya Namirah adalah sosok perempuan ideal. Akirnya ia pun mendatangi ruman Namirah, menemui kedua orang tuanya dan menyampaikan maksud dan tujuannya untuk meminang Namirah. Tapi, setelah menyampaikan maksud dan tujuannya, ayah Namirah menolak pinangan Hamidi secara halus yang memang dipahami Hamidi bahwa itu adalah penolakan.

Rabu, 09 November 2016

Menulis November #6

Setelah kemarin aktivitas kebun, sekarang saya ingin berbagi sedikit tentang aktvitas saya yang lain yaitu jualan online, kerennya sih disebut Internet Marketer, pemasar lewat internet. Aktivitas ini sudah saya lakukan secara inkosisten selama setahun terakhir. Dan tentu bisa ditebak hasilnya belum sesuai yang saya harapkan, meski tetap ada hasil yang saya syukuri.

Berbicara tentang jualan online, promosi dilakukan lewat akun-akun sosial media, yang dialih fungsikan menjadi selling media, makanya kalau kena tegur sama Mark ya... salah sendiri mengalih fungsikan sosial media yang ia buat. Promosi lewat FB, twitter, IG, Line, dan banyak lagi menjadi aktivitas wajib para pelaku jualan online, meski ada pula lewat BBM yang broadcast sampai lebih dari tiga kali sehari.

Awalnya saya pikir jualan online itu adalah aktivitas yang paling mudah dijalankan. Karena bisa dikerjakan dari rumah, hanya dengan bermodal laptop, pc, atau gadget yang memiliki koneksi internet. Tapi di dalam perjalanannya ternyata tidak semudah yang dibayangkan, sebagai penjual online, ada banyak hal yang perlu dipahami semisal target market, copywriting, dan masih banyak lagi, meski titik utamanya adalah action. Kalau kata Kang Rendy (CEO Keke Grup) itu seperti ini "Jualan gak jualan, orang-orang tetap akan belanja." Kurang lebih seperti itulah yang saya pahami, mungkin tidak persis dengan yang diucapkannya. Tapi intinya adalah posisi, kita mau mengambil posisi sebagai orang yang konsumtif saja atau yang produktif. Disitu perbedaannya.

Jualan lewat sosial media memiliki tantangan tersendiri, kenapa? Semisal kita jualan lewat facebook, ternyata sekarang sejak algoritma FB diubah lagi yang lihat postingan jualan kita hanya orang-orang yang sering berinteraksi dengan kita, kalau tak salah ini pembahasan tentang Edgerank. Jadi, walaupun pertemanan kita sampai 5000 orang kalau interaksinya dengan orang-orang yang itu-itu saja yang yang lihat postingan kita cuma itu-itu saja.

Jualan online pun mesti ada etikanya, bukan asal ngejual, asal laku, tapi perlu juga bangun interaksi dengan customer, jangan nge-SPAM di lapak orang lain juga. Meski jualan online tapi attitude juga mesti dijaga. 

Oia, sebulan terakhir saya juga belajar "Ilmu Gaib" tentang penjualan, bagaimana cara menjual tanpa kelihatan menjual, meskipun awalnya bingung, tapi semakin lama semakin terasa kalau jualannya pakai feel, istilahnya sih Covert Selling, bahkan ada bukunya "Mantra Covert Selling" yang meskipun harganya lumayan mahal tapi tetap saja laku di pasaran, di klaim sebagai buku penjualan terjelek sealam semesta pun tetap buku ini laris manis di pasaran. 

Sekian dulu untuk jualan online ataupun bisnis online. Lain kali saya lanjutkan karena ini laptop sering tiba-tiba restart sendiri. -__-"

Selasa, 08 November 2016

Menulis November #5

Selama tiga hari terakhir ini, saya menemani nenek ke kebun untuk melihat proses panen kelapa yang dilakukan setiap tiga bulan sekali. Kegiatan ini sudah sering saya lakukan sejak masih SD jika bertepatan waktu libur sekolah dan tidak lagi semenjak kuliah. Setelah kuliah selesai, kembali saya melakukan aktivitas serupa.

Nah, apa yang menarik dari kegiatan ini? Yang menarik adalah banyak aktivitas yang saling berkaitan satu sama lain, semisal ada yang memanjat, ada yang mengumpulkan, ada yang mengupas, ada yang mengangkut ke pengepul dan kemudian pengepul menjualnya ke pedagang yang lebih besar lagi, ataupun menjualnya ke pengusaha kopra.

Panen kali ini buah kelapa punya nenek tak cukup banyak, yah hanya berkisar 1200-an buah dari hampir 200 pohon kelapa, jumlah ini sangatlah menurun jika dibandingkan dengan hasil sebelum bulan Ramadhan yang lalu yang mencapai 3000-an buah. Harganya pun 4000 sampai 4.200 rupiah/ 2 buah. Upah untuk para pemanjat kelapa 3000-3.500/pohon. 

Kalau dilihat lebih jauh, ini adalah sebuah bisnis besar yang melibatkan banyak pihak mulai dari petani sampai para pengusaha yang bermodal besar. 

Sempat saya diceritakan oleh orang yang mengupas kelapa tersebut bahwa dengan menjual tempurung kelapa saja bisa mendapat untung besar, belum lagi yang menjualnya dalam bentuk arang, saya lupa berapa persisnya, yang jelas keuntungannya cukup besar. Belum lagi yang mengolahnya menjadi kopra kemudian diolah menjadi minyak goreng, bahkan ada yang dikirim ke Kalimantan. 

Tapi, mirisnya semakin banyak juga yang mengalih fungsikan lahan kebun kelapanya menjadi areal persawahan. Mau tidak mau jika hal ini terus terjadi, maka akan semakin menaikkan harga kelapa. Kenapa? Dalam bisnis, faktor kelangkaan cukup berpengaruh untuk menentukan harga, semakin langka barang, maka harganya pun semakin meningkat. Karena permintaan pasar tetap atau mungkin meningkat. 

Ini bisnis, semua harus diuntungkan. Hahaha...

Meski saya bingung dengan apa yang saya tuliskan ini, tapi semoga kalian bisa melihat sesuatu yang tak terlihat oleh pandangan mata dalam tulisan ini. Semoga bermanfaat. 

Senin, 07 November 2016

Menulis November #4

Baru kelar membaca buku "Prahara Cinta - sebuah kisah asmara yang menguji iman". Sempat tertunda menyelesaikan membacanya karena kesibukan yang diperada-adakan. Saya berkali-kali merasa 'tertampar' ketika membaca buku ini. Kisah yang ditulis dan diceritakan dalam buku ini begitu apik dan merupakan sebuah kisah nyata yang banyak sekali mengandung pelajaran berharga.

Sungguh, saya merasa beruntung bisa membaca buku ini sebelum menikah. Pelajaran hidup di dalamnya sangatlah bermanfaat. Pun bagi yang telah menikah akan sangat banyak pelajaran pula yang bisa dipetik dari kisah yang dituliskan dalam buku ini.

Saya tidak akan mengulas isi buku ini secara keseluruhan, silakan membacanya sendiri, resapi setiap pesan, setiap pelajaran yang terkandung di dalamnya. Kalau kata kakak saya, yang membaca buku ini sebelum menikah mungkin akan merasa takut untuk segera menikah, tapi di sisi lain kisah hidup di dalam buku menjadi bekal yang sangat berharga bagi mereka yang akan menikah maupun yang telah menikah.

Saya menuliskan ini pun sebagai pengingat bagi diri sendiri, bahwa menikah bukanlah sesuatu yang sederhana meski pernikahan itu baiknya disederhanakan. Beberapa hal yang bisa saya dapatkan dari buku "Prahara Cinta" ini adalah tentang menerima dan menghargai pasangan hidup, saling mengasihi dan jangan tergoda dengan seorang yang lain dari masa lalu, meskipun kita sangat menginginkannya dahulu. Jika sudah mempunyai pasangan yang shalihah dan bisa menerimamu maka bersyukurlah, jangan pernah membandingkannya dengan siapa pun, karena sejatinya memang manusia tak ada yang sempurna. 

Zakiah, nama tokoh dalam buku ini adalah sosok yang sangat ideal (setidaknya dalam pandangan pribadi saya). Bagaimana tidak, ketika akan menikah dia merupakan sosok perempuan shalihah, hafalan Qur'an empat juz, dan ia rela melepaskan statusnya sebagai mahasiswi kedokteran demi menjadi ibu rumah tangga yang baik dan berbakti pada suaminya, meski dalam kisah ini ia adalah sosok yang sangat tersakiti. 

Sejujurnya, membaca buku ini membuatku berpikir sekian kali tentang niatku untuk menikah. Tentang bagaimana kehidupan setelah menikah, saya sadar akan ada riak-riak dalam rumah tangga, dan tidak menutup kemungkinan akan ada badai yang menghantam biduk rumah tangga. Pertanyaan sebelum menikah, apa kita sudah siap dengan itu semua? Siapkah dengan semua ujian yang akan dihadapi? Jika belum, belajarlah dahulu, belajar bukan hanya dari buku, tapi juga dari sekeliling kita. Biarlah kisah hidup orang lain menjadi pelajaran yang berharga untuk kita.

Lain waktu, mungkin akan saya tuliskan beberapa ulasan saya tentang isi buku ini tapi hanya ulasan bab per bab yang semoga bisa jadi pelajaran berharga terutama untuk saya pribadi dan untuk kita semua.

Kamis, 03 November 2016

Menulis November #3

Hari ini tepat tanggal yang sama dengan 4 tahun lalu, ketika menyepakati bahwa tanggal hari ini adalah lahirnya komunitas SIGi Makassar. 


Dalam perjalanannya selama 4 tahun, banyak dinamika terjadi di dalamnya. Banyak keceriaan juga, banyak kenangan meski kadang dibumbui pertengkaran kecil. Ah, bukan pertengakaran hanya saja sedikit berbeda pendapat. 

Selama 4 tahun pula, hal-hal yang menyangkut pemindahan kekuasaan dan lain-lain diselenggarakan dengan cara seksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya. Hahaha...

Ah... kalau harus menuliskan disini kisahnya kurasa tak cukup tempat. Banyak hal sudah dilalui bersama. Banyak tawa diakhir rasa deg-degan setelah sebuah project selesai.

Terima kasih untuk semua. Terima kasih Tuhan, telah mengirimkan orang-orang baik untuk kukenal. 

Selamat ulang tahun ke-4 SIGi Makassar, semoga terus menebar manfaat dan menginspirasi. Jangan lelah dan bosan jadi orang baik dan berbuat baik.

Akhir kata...

Jadi orang hebat yang menjebak ketika terjebak.

eh...

Jadi orang hebat yang bergerak ketika tergerak.

SALAM SIGI CERIAAAAAAAAA...


nb: untuk info lebih lanjut tentang komunitas ini bisa kunjungi sigimks.or.id

Rabu, 02 November 2016

Menulis November #2

Babak baru dalam hidup akan dimulai ketika kita memutuskan untuk melangkah dari masa lalu, tak terjebak dalam kenangan yang bisa-bisa membutakan kita dari indahnya masa depan. Tentu dengan keputusan yang tepat dan didasari atas pertimbangan yang matang.

Sebuah kisah yang pernah terukir, ataukah sebuah nama yang pernah tersimpan biar saja pada tempatnya. Melangkahlah tanpa beban, karena ada tanggung jawab yang lebih besar menanti di depan sana. Membutuhkan energi yang lebih banyak, membutuhkan pikiran yang ekstra untuk menalar, dan membutuhkan waktu yang tidak sedikit. 

Mengawali langkah mungkin terasa ringan, tapi tetap melangkah butuh komitmen dan konsistensi yang lebih lagi. Akan banyak rintangan yang menguji semuanya, tak hanya materi, melainkan lebih banyak menguji mental. Entah akan menjadi pecundang atau pemenang, semuanya bergantung pada resistensi kita menghadapi rintangan.

Akan banyak pelajaran dalam setiap perjalanan, namun kembali lagi akan menguji kepekaan kita dalam melihat semuanya, baik maupun buruknya. Berada di atas jalan yang tanpa arah akan lebih mudah tersesat, petunjuk nyata nampak jika kita membuka mata, jelas tak samar.

Pada setiap perjalanan tak akan lepas dari setiap suara-suara sumbang tak bertanggung jawab, mencoba menarik keluar dari jalan yang dituju. Sekali lagi itu hanya menguji, bisa didengarkan tapi lebih baik diabaikan jika tak manfaat. 

Hiduplah dengan prinsip. Berjalanlah tegap. Hidup tak akan berubah jika menuruti semua kata orang. 


Selasa, 01 November 2016

Menulis November #1

Selamat berlalu bulan kelahiran. Introspeksi dan evaluasi diri adalah yang utama. Sudahkah hidup kita benar-benar berkah? Benar-benar manfaat? Sedangkan diri ini masih merugi jika masih sama saja dengan kemarin apalagi jika lebih buruk, maka sungguh celakalah diri ini. 

Tentang doa semoga usia berkah, berkah seperti apa? bukankah berkah itu adalah ketika bertambahnya usia semakin bertambah dan meningkat pula ketakwaan kita? itulah berkah sesungguhnya. Jika pun belum, teruslah berusaha. Jangan berputus asa dari rahmat Allah. Sungguh tiada usaha yang sia-sia. Ketika kita meninggalkan sesuatu yang buruk karena Allah, maka niscaya Allah akan menggantikannya dengan sesuatu yang lebih baik.

Beberapa harap masih terlihat di depan mata, nyaring terdengar di telinga, bahkan diakui oleh hati. Sudahkah harap itu benar-benar akan mendekatkan kita pada Sang Pencipta, jika belum, perbaikilah niat dahulu.

Doa yang dipanjatkan, berharap diijabah. Sudahkah kita melakukan apa yang diperintahkan dan meninggalkan apa yang dilarang-Nya? Jika belum, belajarlah dahulu. Karena bukan semata perbuatan, bahkan niat pun menjadi penilaian.

Langkah ke depan semakin terjal. Kita bukan lagi kanak-kanak, jatuh kemudian bangkit dan berlari lagi. Jatuh pun harus terpikir, terjatuh karena apa? Bangkit disertai pikiran dan berusaha untuk tidak jatuh lagi pada hal yang sama adalah proses mendewasakan diri. Karena kita makhluk yang berpikir. 

Hidup ini bukan lelucon, meski kita haruslah bersikap asing pada dunia ini, sebagai tempat persinggahan sementara, bukan tujuan akhir. Akhirat adalah tempat kembali kita, dimana segala laku kita pertanggungjawabkan, baik maupun buruk.







Selasa, 11 Oktober 2016

Apa yang Membuatmu Diam?

Hari ini aku melihatmu termenung. Diam, pekat nampak lekat di wajahmu. Apa yang kau pikirkan? Sudahkah aku berlaku salah padamu? Coba, bicaralah.

Lama, terlalu lama bahkan. Tak ada kata terucap meski sepatah. Hanya kudengar sayup-sayup nafasmu yang terbawa angin. Kita hanya berdua disini. Menatap langit mendung di depan kita. Sebentar lagi hujan, sayang. Bisikku.

Tak ada yang berubah kau masih tetap dengan diammu. Dan aku jatuh dalam rasa bersalah yang tak aku tahu. Kau tahu? Diammu itu menyakitkan. Kalau saja aku ahli membaca pikiran, aku akan memintamu untuk tetap diam saja. Aku hanya meminta, bicaralah sebelum aku pergi. Bebanku sudah cukup berat, sebentar lagi akan tumpah.

Sudah beberapa jam kita disini, malam semakin larut dan kau masih saja dengan diammu, pekat dan larut dengan gelap malam ketika lampu-lampu sudah dipadamkan. Sampai kapan kita bertahan seperti ini?

Adzan subuh sudah berkumandang, aku merasa waktuku tak lama lagi. Mungkin sebentar lagi aku akan pergi dengan penuh rasa sesak. Masihkah kau bisu? Baiklah aku masih menunggu hingga nampak jelas beda antara benang hitam dan putih.

Hari sudah pagi, benar waktuku sudah habis denganmu disini. Terima kasih atas diammu. Lihatlah, anak laki-laki itu sudah membawa beban baru untukku, sebentar lagi ia akan mengikat kepalaku dan membawaku pergi dari sini. Aku tahu tujuan akhirku, tempat sampah. 

Baiklah, aku pergi... selamat tinggal. 

'suara hati sebuah trash bag di samping sebuah kursi yang diam'

Jumat, 02 September 2016

Bagaimana Jika...

Sejenak melepas lelah. September sudah memasuki hari kedua sekarang. Masih dengan keenggananku untuk menulis lagi. Jenuh dengan segala hiruk pikuk dalam pikiranku yang seolah tak tampak ujungnya. Belum lagi dosa-dosa yang semakin akrab menghampiri seolah biasa saja. Ini petaka, benar-benar petaka. 

Tulisan ini hanya akumulasi dari tingkat kejenuhan. Perhatikan saja tulisan ini, tak ada istimewanya, apalagi jika ingin menyebut pesan moral. Tak ada sama sekali. Jika kalian yang membaca tulisan ini sampai selesai, saya yakin kalian tak akan menemukan manfaat apapun dalam tulisan ini, jadi sebaiknya cukup baca sampai disini saja. Tutup halamannya kemudian tinggalkan. Apa yang kutuliskan setelah ini mungkin hanya keluhan-keluhan, celotehan-celotehan tak berujung yang hanya akan membuang waktu kalian.

Rabu, 29 Juni 2016

#RamadhanDay 7: Berita Kematian

Satu yang pasti di dunia ini adalah kematian. Kematian itu pasti datangnya dan ia lebih dekat dari kiamat. Ketika ada yang berkata bahwa kiamat sudah dekat, maka sungguh kematian itu lebih dekat. 

Ramadhan ini, sudah dua orang tetangga saya yang ditakdirkan oleh Allah untuk mendahului kami. Yang satunya meninggal pada hari ke-3 Ramadhan dan yang yang satu lagi pada hari ke-17 Ramadhan yang lalu.
Tapi, saya ingin sedikit bercerita tentang orang yang meninggal pada hari ke-17 Ramadhan kemarin. Beliau adalah seorang muadzin di masjid dekat rumah saya.

Subuh, 17 Ramadhan. Tak pernah ada yang menyangka, begitulah kematian tak ada yang tahu kapan datangnya. Saya masih mendengarnya mengumandangkan adzan subuh hari itu. Setelah adzan saya berangkat ke masjid. Kulihat ada yang tak biasa, menantu beliau mengemudikan mobil dengan tergesa, biasanya menyapa saya, tapi kali ini memang tidak biasanya. Dimundurkannnya mobil itu sampai di depan masjid, kulihat ada ramai-ramai, dalam hati ini kenapa belum iqomah, padahal waktu sholat subuh sudah sampai.

Selasa, 21 Juni 2016

#RamadhanDay 6: Mengapa Saya Berhenti Mengajar (bag.1)

Ada pertanyaan menyentil yang pernah dilontarkan oleh salah seorang teman kepada saya beberapa waktu yang lalu, tentang mengapa saya berhenti mengajar di sekolah? Padahal saya seorang sarjana pendidikan biologi, yang menurut sebagian orang harusnya menjadi guru dan menjarkan biologi di sekolah. Apakah karena honornya kurang? Mungkin... hahaha...

Jadi seperti ini, hampir setahun yang lalu saya mulai menjadi guru honor di dua sekolah atas 'perintah' orang tua saya. Satunya MTs, dan satunya lagi pesantren tingkat SMP. Awal-awal di sekolah jelas terasa canggung, sangat berbeda ketika PPL sewaktu kuliah. Ini waktunya mengaplikasikan ilmu di lapangan yang sebenarnya. Jadilah saya guru, berpenampilan layaknya guru kebanyakan dengan kemeja, celana kain, lengkap dengan sepatu yang mengkilap (tapi dompet meringis) hahaha...

#RamadhanDay 5: Beberapa Hal yang Saya Sesali


Ramadhan, bulan yang selalu mengingatkanmu beberapa hal di belakang, beberapa hal yang telah berlalu. Entah itu baik atau buruk. Sebagai pengingat untuk lebih memperbanyak kebaikan-kebaikan dan mereduksi keburukan-keburukan. Ramadhan ini, kembali mengingatkan saya beberapa hal yang seharusnya tidak saya tinggalkan di masa lalu. Tentu, penyesalan akan selalu ada di belakang. Dan penyesalan itu muncul lebih dari 10 tahun kemudian.

Beberapa hari kemarin, ada teman di salah satu grup sharing di WhatsApp menawarkan dagangannya berupa Al Qur'an yang dilengkapi dengan metode menghafal, katanya bisa hafal 1 lembar dalam 3 jam. Responku malah bilang 3 jam? Apa itu tidak terlalu lama? Tapi, kalau ingat umur sekarang yang sudah lebih dari seperempat abad rasanya itu masih realistis. Memang, dulu sewaktu SMP kelas satu saya pernah menghafal juga, dan ini yang paling saya sesalkan, dan sekarang hanya ada kata PERNAH. Kenapa saya sesali? Sekarang baru sadar kenapa dulu saya berhenti, padahal waktu itu saya sudah hampir hafal juz 2 dan juz 1 Alhamdulillah sudah lancar. Kalau tidak berhenti waktu itu, mungkin sekarang sudah hafal 30 juz. Terkadang saya iri melihat anak-anak yang menghafal Al-Qur'an itu. Betapa bahagia orang tua mereka melihatnya.

Senin, 20 Juni 2016

#RamadhanDay4 : Menjadi Petani

Mungkin sebaiknya cerita tentang Adit dan Dini disimpan dulu, karena harus mikir (baca: menghayal) ekstra untuk melanjutkannya. Hahaha...

Sepertinya saya tertinggal cukup jauh ya, hari ini sudah hari ke-15 Ramadhan, terakhir posting tulisan hari ke-3 Ramadhan. Berarti masih ada 12 cicilan tulisan yang harus saya kejar dan akan bertambah kalau saya berhenti lagi menulis. Rasa-rasa tertampar melihat teman-teman yang konsisten menulis. Meski sebenarnya yang ada dipikiran ini sudah minta untuk ditumpahkan segera.

****

Kali ini saya sedikit bercerita tentang menjadi petani. Pekerjaan yang mungkin sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Apalagi orang-orang yang sering meng-agung-kan PNS (maaf, tidak ada maksud untuk menyerang orang-orang tertentu atau profesi terrtentu). Bapak saya seorang guru, PNS yang sewaktu diangkat menjadi PNS, pendidikan masih Diploma I, dari beliau saya belajr banyak hal. Jadi, saya tidak ada alasan untuk membenci profesi seorang PNS. Karena bisa jadi itu menjadi sebuah ungkapan ketidaksyukuran saya.

Kembali tentang menjadi petani. Setelah mengundurkan diri (bagian ini akan saya ceritakan di lain waktu) dari sekolah tempat saya mengajar sekitar enam bulan yang lalu, dan setelah pengumuman LPDP menyatakan bahwa saya tidak lulus seleksi penerima beasiswa S2. Saya kembali ke kampung, menjalani aktivitas sebagai petani yang sebenarnya hanya membantu nenek saya mengurus kebun kakao miliknya. Kebanyakan saya menghabiskan waktu di kebun dan di depan laptop. Semakin sering ke kebun, semakin banyak hal-hal yang saya pelajari, tentunya ini tidak saya dapatkan semasa kuliah S1. Apa saja? Saya belajar dari kakek bagaimana menanam pisang, memangkas pohon kakao, memupuk, memanen, dan masih banyak lagi.

Menjadi petani merupakan opsi yang realistis yang ada dalam pikiranku. Ini pekerjaan halal dan lagipula tidak bergantung dengan orang lain dan jelas saya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang saya usahakan. Setidaknya saya tidak mengharap gaji seperti saat masih menjadi guru honor. Meskipun menjadi petani itu penuh dengan ketidak pastian, tidak pasti penghasilannya berapa. belum lagi dihantui dengan serangan hama yang bisa saja merusak buah kakao atau bahkan anjloknya harga kakao di pasaran. Tapi, saya yakin Allah sudah mengatur rejeki setiap orang yang berusaha. Kita hanya perlu berdoa dan berusaha.

Rabu, 08 Juni 2016

Tidak Ada Cerita Hari Ini

Kita menuju kantin yang biasa kita tempati. Kantin Bu Ira, kantin dengan menu sederhana yang cukup dekat dengan ruang kelas kita. Kau memesan gado-gado dan aku memesan mi instan rasa kaldu ayam favoritku. Kita berbeda, menurutmu gado-gado lebih baik dari mi instan karena ada sayuran dan juga lontong sebagai sumber karbohidrat. Sedang menurutku, mi instan tetap lebih enak, praktis meski hanya karbohidrat dan beberapa macam zat pengawet. Kau memperhatikan manfaat, sedang aku lebih peduli pada rasa. Bagiku yang penting enak di lidah, manfaat nomor dua. Kau selalu menyoroti kebiasaan anehku menambahkan sedikit saus pada mi instan dalam mangkokku, kemudian menyeruput kuahnya sampai yang tersisa tinggal sedikit. Lalu kutambahkan lagi saus yang banyak sampai mi itu benar-benar memerah, aku memang suka rasa yang pedas dan tak suka kecap, sedang kau lebih suka menambahkan kecap pada gado-gadomu yang menurutku malah aneh karena menghilangkan rasa asli dari bumbu kacang pada gado-gado dalam piringmu.

Selasa, 07 Juni 2016

Dua Kali

Dengan setengah berlari aku menuju kampus, tak jauh memang dari tempatku tinggal. Kost yang kutempati memang ada di belakang kampus, sebenarnya biar lebih gampang akses ke kampus kalau sewaktu-waktu ada yang ketinggalan atau kondisi darurat seperti ini, terlambat.

Mandi hari ini pun, mandi seadanya. Kalau kata orang-orang di kampungku sih ini mandi ikan. Eh, tapi ikan tak pernah mandi kan? Atau malah tiap hari mandi? Ah, mungkin maksudnya karena ikan tak pernah menggosok badannya. Lah, kenapa malah bahas ikan?

Oke, terlambat. Dan aku sebenarnya paling tidak suka terlambat, meski hanya semenit. Jika memang dosen sudah masuk ketika aku sampai di kampus, entah itu semenit, dua menit atau lima menit, aku akan lebih memilih untuk tidak masuk. Itu komitmen yang kubuat dengan diriku sendiri selain karena aku juga menghargai dosen yang datang lebih awal dariku.

Detak jantungku masih memburu, kulihat jam sudah lewat lima menit dari jam masuk dosenku.Telat, tidak, telat, tidak, telat, tidak. Tidak, aku tidak sedang mengundi nasib dengan menghitung kancing kemejaku. Aku hanya menghitung harapanku untuk tidak terlambat masuk atau dengan kata lain mengharap dosen terlambat masuk sehingga aku menjadi tidak terlambat. Bingung? Mari kita sederhanakan, dosen tepat waktu = saya terlambat, saya tidak terlambat = dosen terlambat. Bagaimana? Sudah paham? Itu bukan lah pelajaran matematika yang membahas persamaan jika dan hanya jika, jadi tak usah dipikir.

Senin, 06 Juni 2016

Kamu Tahu?

Piiippp…

Klakson motorku kubunyikan sekali, sebagai kode untuk kau agar segera naik mengisi boncenganku yang kosong atau mungkin sengaja kukosongkan untukmu. Pernah tidak kau berpikir bahwa aku sengaja menghitung, bukan… bukan menghitung hanya memperkirakan waktu berangkatmu dari rumah ke sekolah? Sehingga tepat ketika kau menyeberang jalan di depan rumahmu aku sudah berada di belakangmu. Padahal rumah kita berjarak satu kilometer dan kita tidak ada janji untuk berangkat sekolah barengan.

Hampir setiap pagi aku melakukannya dan aku yakin kau tak menyadarinya. Mungkin kau hanya berpikir itu adalah kebetulan yang terjadi berulang kali, padahal aku bisa saja berangkat ke sekolah lebih cepat dan memacu motorku dengan kecepatan tinggi. Karena aku pernah melakukannya hanya untuk mengukur waktu tercepat yang kutempuh untuk sampai ke sekolah. Yah, hanya sebagai antisipasi jika sewaktu-waktu terlambat karena sesuatu dan lain hal.

Vika, hal sederhana seperti berboncengan denganmu saat ke sekolah itu cukup untuk membuatku bahagia sepanjang hari, kau tak pernah tahu kan? Ah, kau tak perlu tahu tentang itu. Cukuplah aku dengan segala rasaku yang hanya bisa kupendam karena ketakutanku akan kehilanganmu. Cukup bagiku mendengar ceritamu tentang novel yang sedang kau baca. Waktu istirahat sekolah menjadi waktu favoritku, karena kita bisa menghabiskannya dengan diskusi tentang apa yang telah kita baca, bukan menghabiskan waktu di kantin sekolah.

“Hei, semalam baca apa lagi?” tanyaku setelah menepuk pundakmu sesaat setelah jam pelajaran selesai.

“Ah, ini… novel Ayat-ayat Cinta” jawabmu sekenanya.

“Bagaimana ceritanya?”

“Belum kelar bacanya juga, nantilah saya ceritakan kalau sudah kelar bacanya. Eh, makan yok… laper ini, tadi belum sempat sarapan di rumah.” Katamu sambil tersenyum dan menggerakkan kedua alismu.

“Okelah.”

Ah, permintaanmu yang mana yang bisa kutolak? Sepertinya tak ada. Aku selalu kehilangan banyak kata ketika berbicara denganmu. Kau tak pernah tahu kan berapa kecepatan denyut jantungku ketika di depanmu? Andai kau tahu, aku yakin kau pasti akan menertawakanku. Hahaha… aku saja menertawai diriku sendiri.

Ini pengakuanku. Kau tahu? Aku sebenarnya tak pernah menyimak apa yang kau ceritakan, aku hanya memperhatikan caramu bercerita, kemudian melayangkan anganku dalam ceritamu. Menikmati setiap detik waktu denganmu. Yah, berada di dekatmu itu aku merasakan kenyamanan tersendiri. Andai saja pengakuan ini berani ku ungkap padamu.


Vika… aku…


=====

Tulisan ini diikutkan dalam tantangan SIGi Makassar #SIGiMenulisRamadhan

Baca tulisan teman yang lain disini:
- Nunu >> nuralmarwah.com

Jumat, 03 Juni 2016

Kapan Kau Kembali?

Aku harus berpacu, aku mulai ketinggalan banyak hal. Membaca, menulis, kebiasaan lama yang sekarang tergantikan dengan seabrek aktivitas tak jelas. Atau mungkin saja disebut tidak ada aktivitas.

Merasa, merangkai rasa dalam tumpukan kalimat-kalimat bermajas tak lagi akrab denganku. Ini bencana, tak kupikir ada bencana yang lebih besar dari keenggananku untuk membaca lebih banyak lagi. Aku hanya berjalan kesana sini tanpa coba merekam apa yang ada. Yah, aku berjalan dalam kekosongan. Hampa.

Vik, aku rindu ternyata. Sosokmu yang dulu begitu kukagumi sekarang entah dimana keberadaannya. Tidakkah ada rasa bersalahmu meninggalkanku dalam keadaan seperti ini? Seolah hidupku kau bawa pergi bersamamu. Tolong, kembalilah meski sejenak. Aku ingin duduk di sampingmu bercerita banyak hal seperti yang dulu sering kita lakukan. Kemudian malamnya kutuliskan lagi apa yang telah kita lalui bersama hari itu. Aku rindu saat-saat seperti itu.

Akankah kau kembali? Setidaknya mengembalikan kebiasaan lamaku. Dulu, kita sering menghabiskan banyak waktu sekadar membahas buku yang baru selesai kita baca. Aku dengan buku yang beragam genre, sedang kau masih setia dengan novel-novel beragam cerita. Tentang cinta lebih banyak. Aku hanya tak berharap bahwa kau akan mengharapkan kisah cinta yang sama dalam novel-novel yang telah kau baca. Itu fiksi Vik, begitu kataku ketika kau telah menceritakan isi novel yang baru selesai kau baca.

Kamis, 02 Juni 2016

Berisik!

"Berisik!!! Ini masih akhir pekan dan kamu sudah membangunkanku sepagi ini." Adit murka dengan bunyi handphone yang sejak pagi buta sudah berulang kali berbunyi dekat telinganya. Kalau saja itu bukan handphone satu-satunya dan juga pemberian dari orang tuanya, mungkin sudah dibantingnya sejak tadi.

"Adit... ada apa? Kamu baik-baik saja?" terdengar suara dari handphone-nya. Suara seorang perempuan yang lembut tapi jelas menyimpan ketakutan.

"Dini? Maaf, kukira tadi temanku yang iseng terus menelepon sepagi ini." Jawab Adit salah tingkah kemudian memperhatikan nama yang muncul di layar handphone-nya. "Ada apa ya? tumben kamu menelpon sepagi ini."

"Kamu lupa ya? hari ini kan..." Dini tidak melanjutkan perkataannya.

"Hari ini apa? apa aku melewatkan sesuatu? Atau kita punya janji dan aku lupa?" pertanyaan Adit memburu sembari terus mencoba mengingat-ingat apa yang kira-kira ia lupa.

"Ah, sepertinya kamu benar-benar lupa... Sudahlah..." kata Dini dengan nada menyesal.

"Apa?"

"Ternyata kamu lupa, hari ini kan hari Minggu, dan kita tidak punya janji apa-apa... tidur sajalah... hahaha..." jawab Dini sembari tertawa puas. Puas sekali rasanya bisa mengerjai Adit sepagi ini. Kemudian ia mematikan handphone tanpa permisi. Meninggalkan Adit terjebak dalam kebingungan sepagi itu.

"Awas kamu, akan kubalas nanti," gumam Adit.