Senin, 20 Juni 2016

#RamadhanDay4 : Menjadi Petani

Mungkin sebaiknya cerita tentang Adit dan Dini disimpan dulu, karena harus mikir (baca: menghayal) ekstra untuk melanjutkannya. Hahaha...

Sepertinya saya tertinggal cukup jauh ya, hari ini sudah hari ke-15 Ramadhan, terakhir posting tulisan hari ke-3 Ramadhan. Berarti masih ada 12 cicilan tulisan yang harus saya kejar dan akan bertambah kalau saya berhenti lagi menulis. Rasa-rasa tertampar melihat teman-teman yang konsisten menulis. Meski sebenarnya yang ada dipikiran ini sudah minta untuk ditumpahkan segera.

****

Kali ini saya sedikit bercerita tentang menjadi petani. Pekerjaan yang mungkin sering dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Apalagi orang-orang yang sering meng-agung-kan PNS (maaf, tidak ada maksud untuk menyerang orang-orang tertentu atau profesi terrtentu). Bapak saya seorang guru, PNS yang sewaktu diangkat menjadi PNS, pendidikan masih Diploma I, dari beliau saya belajr banyak hal. Jadi, saya tidak ada alasan untuk membenci profesi seorang PNS. Karena bisa jadi itu menjadi sebuah ungkapan ketidaksyukuran saya.

Kembali tentang menjadi petani. Setelah mengundurkan diri (bagian ini akan saya ceritakan di lain waktu) dari sekolah tempat saya mengajar sekitar enam bulan yang lalu, dan setelah pengumuman LPDP menyatakan bahwa saya tidak lulus seleksi penerima beasiswa S2. Saya kembali ke kampung, menjalani aktivitas sebagai petani yang sebenarnya hanya membantu nenek saya mengurus kebun kakao miliknya. Kebanyakan saya menghabiskan waktu di kebun dan di depan laptop. Semakin sering ke kebun, semakin banyak hal-hal yang saya pelajari, tentunya ini tidak saya dapatkan semasa kuliah S1. Apa saja? Saya belajar dari kakek bagaimana menanam pisang, memangkas pohon kakao, memupuk, memanen, dan masih banyak lagi.

Menjadi petani merupakan opsi yang realistis yang ada dalam pikiranku. Ini pekerjaan halal dan lagipula tidak bergantung dengan orang lain dan jelas saya akan mendapatkan sesuai dengan apa yang saya usahakan. Setidaknya saya tidak mengharap gaji seperti saat masih menjadi guru honor. Meskipun menjadi petani itu penuh dengan ketidak pastian, tidak pasti penghasilannya berapa. belum lagi dihantui dengan serangan hama yang bisa saja merusak buah kakao atau bahkan anjloknya harga kakao di pasaran. Tapi, saya yakin Allah sudah mengatur rejeki setiap orang yang berusaha. Kita hanya perlu berdoa dan berusaha.

Menjadi petani sementara membuat saya bisa melihat lebih banyak hal. Setidaknya, bisa tahu dan merasakan bagaimana kehidupan para petani. Entah itu yang punya lahan sendiri, atau yang bekerja menggarap lahan orang lain. Banyak cerita yang saya dengar (akan saya ceritakan di bagian yang lain) ketika berada di kebun, dari interaksi dengan beberapa petani. Baik itu yang masih keluarga atau yang bukan keluarga. Ada sesuatu yang sama di antara mereka semua. Apa itu? Kerja keras.

Pernah makan coklat? Mungkin kita semua sudah pernah makan coklat. Makanan hasil olahan dari biji kakao ini punya harga yang lumayan bisa disebut mahal. Karena tidak semua orang bisa menikmatinya. Tapi, bagaimana jika pertanyaannya seperti ini, "Pernah menanam kakao, memelihara, memupuk, memanen, menjemur buah kakao?" jawabannya mungkin tidak semua pernah. Apalagi bagi mereka yang berasal dari keluarga yang berkecukupan.

Pernah tidak kita berpikir bagaimana dengan petani kakao? Sebagian dari kita mungkin akan bilang, "ah, itu kan sudah jadi pekerjaan mereka. Urus pekerjaan masing-masing lah...". Benar, jawaban itu tidak ada salahnya, tapi tidak ada salahnya juga kan ketika kita memikirkan apa yang kita makan? itu asalnya dari mana? Coklat hanyalah sebuah contoh kecil dari makanan apa yang pernah kita makan. Padi yang digiling menjadi beras, kemudian dimasak menjadi nasi yang kita makan. Pernah terpikir bagaimana kerja keras seorang petani menanam, memelihara, memupuk, dan memanennya?

Sebenarnya apa yang ingin saya ceritakan? Ya, itu menjadi petani. Membuat saya merasakan dan lebih bersyukur dengan apa yang saya makan. Karena masih banyak orang yang tidak seberuntung kita bisa merasakannya.

Sekitar dua tahun yang lalu, saya 'terjebak' mengikuti sebuah workshop (yang ternyata untuk guru-guru) yang membahas tentang "Sustainable Footprint". Hari itu tak akan saya lupakan dimana saya datang ke tempat itu dengan 'super salah kostum'. Kalian yang sering bertemu dengan saya akan akrab dengan penampilan standar saya. Sendal, celana jins, baju kaos dan jaket Inter Milan melekat dengan saya. Say adatang ke tempat yang di isi oleh guru-guru dengan pakaian dinas atau dengan batik lengkap dengan sepatunya. Pematerinya hari itu adalah seorang dosen dari Belanda. Tapi, saya sudah ada dalam ruangan, dan ini sebuah kesempatan saya untuk belajar juga.

Apa itu Sustainable Footprint? salah satu model pembelajaran berbasis berbasis masalah. Yang kalau saya tidak salah memahami, ringkasnya seperti ini. Pematerinya memberi contoh ketika mengajar anak-anak, semisal dalam pelajarannya ia mengambil contoh tentang keju, maka akan diceritakan kepada anak-anak itu dari mana keju itu berasal. Bagaimana peternak sapi memelihara ternaknya, memberi makan, nutrisi, sehingga sapi menghasikan susu yang baik. Kemudian, bagaimana mana susu itu kemudian difermentasi dan diproses sedemikian rupa sehingga menjadi keju. Lalu bagaimana keju itu di distribusi dari pabrik ke negara-negara lain, ke minimarket, hingga kemudian sampai ke rumah dan kita memakannya.

Apa tujuannya? agar anak-anak itu belajar menghargai apa yang mereka makan dan juga menghargai profesi setiap orang.

Ahh... sepertinya tulisan ini sudah terlalu panjang. Saya akhiri dengan penghormatan setinggi-tingginya untuk para petani.

======

Tulisan ini diikutkan dalam tantangan SIGi Makassar #SIGiMenulisRamadhan

Baca tulisan teman yang lain disini:


 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar