Selasa, 11 Oktober 2016

Apa yang Membuatmu Diam?

Hari ini aku melihatmu termenung. Diam, pekat nampak lekat di wajahmu. Apa yang kau pikirkan? Sudahkah aku berlaku salah padamu? Coba, bicaralah.

Lama, terlalu lama bahkan. Tak ada kata terucap meski sepatah. Hanya kudengar sayup-sayup nafasmu yang terbawa angin. Kita hanya berdua disini. Menatap langit mendung di depan kita. Sebentar lagi hujan, sayang. Bisikku.

Tak ada yang berubah kau masih tetap dengan diammu. Dan aku jatuh dalam rasa bersalah yang tak aku tahu. Kau tahu? Diammu itu menyakitkan. Kalau saja aku ahli membaca pikiran, aku akan memintamu untuk tetap diam saja. Aku hanya meminta, bicaralah sebelum aku pergi. Bebanku sudah cukup berat, sebentar lagi akan tumpah.

Sudah beberapa jam kita disini, malam semakin larut dan kau masih saja dengan diammu, pekat dan larut dengan gelap malam ketika lampu-lampu sudah dipadamkan. Sampai kapan kita bertahan seperti ini?

Adzan subuh sudah berkumandang, aku merasa waktuku tak lama lagi. Mungkin sebentar lagi aku akan pergi dengan penuh rasa sesak. Masihkah kau bisu? Baiklah aku masih menunggu hingga nampak jelas beda antara benang hitam dan putih.

Hari sudah pagi, benar waktuku sudah habis denganmu disini. Terima kasih atas diammu. Lihatlah, anak laki-laki itu sudah membawa beban baru untukku, sebentar lagi ia akan mengikat kepalaku dan membawaku pergi dari sini. Aku tahu tujuan akhirku, tempat sampah. 

Baiklah, aku pergi... selamat tinggal. 

'suara hati sebuah trash bag di samping sebuah kursi yang diam'