Jumat, 02 September 2016

Bagaimana Jika...

Sejenak melepas lelah. September sudah memasuki hari kedua sekarang. Masih dengan keenggananku untuk menulis lagi. Jenuh dengan segala hiruk pikuk dalam pikiranku yang seolah tak tampak ujungnya. Belum lagi dosa-dosa yang semakin akrab menghampiri seolah biasa saja. Ini petaka, benar-benar petaka. 

Tulisan ini hanya akumulasi dari tingkat kejenuhan. Perhatikan saja tulisan ini, tak ada istimewanya, apalagi jika ingin menyebut pesan moral. Tak ada sama sekali. Jika kalian yang membaca tulisan ini sampai selesai, saya yakin kalian tak akan menemukan manfaat apapun dalam tulisan ini, jadi sebaiknya cukup baca sampai disini saja. Tutup halamannya kemudian tinggalkan. Apa yang kutuliskan setelah ini mungkin hanya keluhan-keluhan, celotehan-celotehan tak berujung yang hanya akan membuang waktu kalian.

Saya bisa melihat dengan jelas bayangan dalam cermin sosok yang begitu menjengkelkan, penuh kepalsuan, keras kepala dan penuh dosa. Lihatlah, sampai hari ini apa yang telah saya lakukan? Hanya kebanggaan semu, hanya celoteh teoritis yang membuat mulut berbusa meski tanpa sianida. Lalu, untuk apa saya hidup. Seringkali, secara teoritis saya ingin menjadi sebaik-baik manusia yang bisa bermanfaat untuk orang lain. Tapi, realisasi? NOL BESAR. 

Kalau ingin beralasan lagi, mungkin saya akan berkata saya sedang berada di titik nadir, yang menunggu saat untuk kembali memantul ke atas, tapi... bagaimana jika saya terjatuh perlahan tanpa saya sadari, apa ada kemungkinan untuk memantul? jika menurut hukum fisika, saya rasa itu tidak akan pernah terjadi. Pantulan ke atas hanya akan terjadi jika sebuah benda terjatuh dengan sangat keras, tidak jika jatuhnya perlahan.

Kalau begitu, saya tidak bisa memantul, saya hanya bisa memanjat, merangkak perlahan dengan daya dan usaha yang lebih besar daripada ketika saya terjatuh, yah itu jika saya ingin ke atas. Kalau usahanya masih biasa-biasa saja saya hanya akan jalan di tempat. Eh, bukan jalan namanya kalo masih di tempat yang sama, dengan artian tak akan ada perubahan.

Saya butuh tekanan, butuh dorongan untuk menanjak ke atas ketika daya saya sudah habis. Tapi dorongan seperti apa? tekanan dalam bentuk apa? ini aneh, bahkan saya kehilangan diri saya sendiri dalam sebuah perjalanan. 

Jika kalian ada yang membaca sampai di bagian ini, harap hentikan keras kepala kalian. Karena sudah saya sampaikan sebelumnya, kalau kalian hanya akan membuang-buang waktu saja.

Ah, saya lupa berdoa. Berdoa yang selalu menjadi nomor sekian padahal seharusnya diutamakan, berserah diri dulu pada Allah kemudian usaha yang maksimal. Kira-kira seperti itu rumusnya.

Maka berdoalah saya..., 
semoga esok dan seterusnya dosa-dosa saya bisa berkurang sedikit demi sedikit
semoga esok dan seterusnya saya bisa lebih bermanfaat lagi untuk orang lain
semoga esok dan seterusnya saya lebih rajin lagi beribadah
semoga esok dan seterusnya usaha saya semakin bertambah untuk menjadi lebih baik
semoga esok dan seterusnya saya tidak pernah lupa berdoa
semoga esok dan seterusnya saya bisa kembali produktif dalam hal menulis

dan terakhir...
semoga esok dan seterusnya kalian yang masih keras kepala membaca tulisan ini  sampai selesai dimurahkan rejekinya oleh Allah, diberi keberkahan dalam rejekinya, diberi keberkahan dalam setiap langkahnya berbuat kebaikan, diberi keberkahan dalam setiap pertambahan usianya. dan bagi yang belum bertemu dengan jodohnya, semoga disegerakan. Aamiin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar