Kita menuju kantin yang biasa kita tempati. Kantin Bu Ira, kantin
dengan menu sederhana yang cukup dekat dengan ruang kelas kita. Kau memesan
gado-gado dan aku memesan mi instan rasa kaldu ayam favoritku. Kita berbeda,
menurutmu gado-gado lebih baik dari mi instan karena ada sayuran dan juga
lontong sebagai sumber karbohidrat. Sedang menurutku, mi instan tetap lebih
enak, praktis meski hanya karbohidrat dan beberapa macam zat pengawet. Kau
memperhatikan manfaat, sedang aku lebih peduli pada rasa. Bagiku yang penting
enak di lidah, manfaat nomor dua. Kau selalu menyoroti kebiasaan anehku
menambahkan sedikit saus pada mi instan dalam mangkokku, kemudian menyeruput
kuahnya sampai yang tersisa tinggal sedikit. Lalu kutambahkan lagi saus yang
banyak sampai mi itu benar-benar memerah, aku memang suka rasa yang pedas dan
tak suka kecap, sedang kau lebih suka menambahkan kecap pada gado-gadomu yang
menurutku malah aneh karena menghilangkan rasa asli dari bumbu kacang pada
gado-gado dalam piringmu.
Kita begitu berbeda
dalam semuanya, kecuali dalam cinta. Bukan, tidak seperti itu, itu hanya
itu hanya petikan dialog dalam film GIE yang melintas di pikiranku
ketika memperhatikanmu menyantap gado-gado yang ada di piringmu dengan lahap.
Sekali waktu kupikir kita benar-benar berbeda. Ini bukan
hanya dalam perihal makanan, saus, dan kecap. Tapi, lebih daripada itu seperti
dalam kegiatan ekskul di sekolah, kau lebih memilih berada dalam seragam coklat
dengan pita merah putih yang melingkar pada kerah seragammu, yang membesarkan
namamu. Sampai kau pun pernah mengikuti jambore nasional pada waktu SD, sebuah
prestasi yang cukup membanggakan. Sedang aku lebih memilih bergabung dalam barisan
yang di lengan seragam sekolahnya ada lambang palang berwarna merah dengan
dasar kuning yang berbentuk seperti perisai, yang setiap upacara harus stand by di belakang barisan upacara
jika sewaktu-waktu ada peserta yang pingsan.
Ah, itu hanya perbedaan kecil dan menyangkut pilihan
masing-masing, bukankah perbedaan itu yang membuat banyak cerita? Bukankah perbedaan
yang kemudian bisa membuat kita saling melengkapi? Hah, terlalu dini bicara
saling melengkapi, kita masih kelas 2 SMA, jalan di depan kita masih panjang
terbentang, takdir yang akan menentukan nantinya apakah kita akan saling
melengkapi ataukah nantinya hanya akan bertukar cerita tentang orang-orang yang
melengkapi hidup kita. Namun, tak ada salahnya kan jika aku berharap kau yang
akan melengkapi hidupku?
“Eh, kecap segitu enaknya ya?” tanyaku
“Iya, ada manis-manisnya gitu…” jawabmu sembari tertawa
kecil.
“Dulu saya memang suka kecap, tapi sejak diberi tahu kalau
kecap itu dibuat dari kura-kura, saya jadi jijik dengan kecap, tau sendiri kan
kura-kura biasa ada di mana? Di saluran air.”
“Hahaha… ya itu kan dulu biar kamu gak ngabisin kecap di
rumah mungkin, makanya dibilangi seperti itu.”
“Iya juga sih,” kataku sembari menggaruk kepalaku yang
sebenarnya tidak gatal.
“Itu saus segitu enaknya? Sampai mi itu tak tampak lagi
warna aslinya? Hahaha…”
“Iya lah enak, bisa menstimulus keringat keluar meski tanpa
olahraga dan juga memerahkan bibir meski tanpa pake lipstick, hahaha…”
“Aneh.”
“Kamu juga.”
“Jadi, tak ada cerita hari ini? Kira-kira kapan novel itu
selesai kamu baca? Sepertinya menarik.”
“Yah, mungkin tiga atau empat hari ke depan, kalau waktu
libur sih dua hari juga kelar.”
“Yaaaahh,” kataku dengan sedikit menampakkan raut sesal.
=====
Tulisan ini diikutkan dalam tantangan SIGi Makassar #SIGiMenulisRamadhan
Baca tulisan teman yang lain disini:
- Nunu >> nuralmarwah.com
- Amma >> nurrahmahs.wordpress.com
- Ammy >> rahmianarahman.blogspot.com
- Kyuu >> kyuuisme.wordpress.com
- Inov >> inanovita.blogspot.com
- Ancha >> rancaaspar.wordpress.com
- Ratih >> burningandloveable.blogspot.com
- Indi >> inditriyani.wordpress.com
- Jabbar >> begooottt.wordpress.com
- Oshin >> uuswatunhasanah.tumblr.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar