Dengan setengah berlari aku menuju kampus, tak jauh memang
dari tempatku tinggal. Kost yang kutempati memang ada di belakang kampus,
sebenarnya biar lebih gampang akses ke kampus kalau sewaktu-waktu ada yang
ketinggalan atau kondisi darurat seperti ini, terlambat.
Mandi hari ini pun, mandi seadanya. Kalau kata orang-orang
di kampungku sih ini mandi ikan. Eh, tapi ikan tak pernah mandi kan? Atau malah
tiap hari mandi? Ah, mungkin maksudnya karena ikan tak pernah menggosok
badannya. Lah, kenapa malah bahas ikan?
Oke, terlambat. Dan aku sebenarnya paling tidak suka
terlambat, meski hanya semenit. Jika memang dosen sudah masuk ketika aku sampai
di kampus, entah itu semenit, dua menit atau lima menit, aku akan lebih memilih
untuk tidak masuk. Itu komitmen yang kubuat dengan diriku sendiri selain karena
aku juga menghargai dosen yang datang lebih awal dariku.
Detak jantungku masih memburu, kulihat jam sudah lewat lima
menit dari jam masuk dosenku.Telat, tidak, telat, tidak, telat, tidak. Tidak,
aku tidak sedang mengundi nasib dengan menghitung kancing kemejaku. Aku hanya
menghitung harapanku untuk tidak terlambat masuk atau dengan kata lain
mengharap dosen terlambat masuk sehingga aku menjadi tidak terlambat. Bingung?
Mari kita sederhanakan, dosen tepat waktu = saya terlambat, saya tidak
terlambat = dosen terlambat. Bagaimana? Sudah paham? Itu bukan lah pelajaran
matematika yang membahas persamaan jika dan hanya jika, jadi tak usah dipikir.
Aku tiba di kampus dengan menghela napas panjang. Akhirnya
sampai juga dan kutemukan pintu kelas telah tertutup rapat. Aku mendekat,
merapatkan telingaku di pintu kelas, untuk memastikan apakah dosen sudah di
dalam kelas atau belum. Buka, tidak, buka, tidak, buka, tidak, BUKA. Akhirnya
kubuka juga pintu kelas itu setelah kudengar belum ada suara dosen. Dan…
Selamat ulang
tahuuuuun….!!
Selamat ulang tahun…
kami ucapkan… semoga panjang umur. Tidak, bukan itu. Aku tidak sedang
berulang tahun, itu hanya ada dalam pikiranku saja. Benar, kuliah belum dimulai
karena dosen pun datang. Mataku mencari Dini yang menelponku tadi, membuatku
harus ngos-ngosan ke kampus, dan jangan lupa perihal ‘mandi ikan’ tadi.
Kutemukan juga Dini sedang duduk dan melihatku dari bangku
kedua dari depan yang ada dibaris pertama rapat dengan dinding kelas. Dia
melihatku sambil menahan tawa. Kurasa ada yang aneh dengannya. Atau
jangan-jangan…
Kuhampiri Dini, dan kemudian pecahlah tawanya melihatku yang
masih keringatan. Sepertinya benar dugaanku. Sekali lagi dia mengerjaiku.
“Kenapa? Abang lelah?” kata Dini masih dengan tertawa dengan nada sedikit mengejek meskipun sudah berusaha menahan tawanya.
“Katamu dosen sudah mau masuk, trus mana dosennya?” tak
kujawab pertanyaannya. Masih lelah bercampur sesendok rasa jengkel.
“Lah, kan memang sudah mau masuk, tapi sekarang atau
bentaran lagi kan terserah dosennya. Atau mungkin juga hari ini tidak masuk.
Yang penting kan saya gak bohong, karena memang mau masuk, masa iya gak mau
masuk? Gak digaji dong, kecuali kalo dosennya mau makan gaji buta. Hahaha…”
jawab Dini seraya tertawa puas sekali berhasil mengerjaiku dua kali dan
membuyarkan lamunanku tentang Vika pagi tadi.
=====
Tulisan ini diikutkan dalam tantangan SIGi Makassar #SIGiMenulisRamadhan
Baca tulisan teman yang lain disini:
- Nunu >> nuralmarwah.com
- Amma >> dandelionwannabe.wordpress.com
- Ammy >> rahmianarahman.blogspot.com
- Kyuu >> kyuuisme.wordpress.com
- Inov >> inanovita.blogspot.com
- Ancha >> rancaaspar.wordpress.com
- Ratih >> burningandloveable.blogspot.com
- Indi >> inditriyani.wordpress.com
- Jabbar >> begooottt.wordpress.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar